Rajawalinusantara.com – Bogor, 26 Oktober 2025.
Fenomena maraknya destinasi wisata baru dan jalur trekking di kawasan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, belakangan ini menjadi sorotan publik. Di balik ramainya pengunjung dan geliat ekonomi lokal yang meningkat, terselip fakta yang cukup miris: sebagian lokasi wisata diduga belum memiliki izin resmi dari pihak berwenang.
Kawasan Sukamakmur yang berbatasan langsung dengan wilayah Puncak, dikenal memiliki bentang alam yang menawan — mulai dari tebing curam, lembah hijau, hingga curug-curug alami yang menyejukkan mata. Tak heran, daerah ini menjadi incaran para pelancong lokal hingga wisatawan luar kota untuk sekadar berkemah, menikmati udara segar, atau menjajal jalur trekking yang sedang populer di media sosial.
Namun di balik keindahan itu, muncul kekhawatiran soal legalitas dan kelestarian lingkungan. Berdasarkan hasil pantauan tim jurnalis Rajawalinusantara.com di lapangan, ditemukan sejumlah lokasi wisata baru yang dibuka tanpa izin jelas, bahkan ada yang diduga berdiri di kawasan hutan lindung.
Laporan Lapangan: Trekking “Gaya Ngoboy” dan Wisata Curug Dadakan
Menurut informasi yang dihimpun dari warga sekitar dan pemerhati lingkungan, aktivitas wisata di kawasan Sukamakmur kini tidak hanya berfokus pada camping ground dan curug alami, tapi juga pada kegiatan trekking yang disebut warga sebagai “trekking gaya ngoboy” — jalur pendakian yang dibuka secara mandiri oleh kelompok atau individu tanpa prosedur resmi.
Beberapa rute trekking bahkan melewati wilayah hutan yang seharusnya dilindungi, dan diubah menjadi jalur komersial. Para pengusaha lokal, dengan semangat untuk menarik wisatawan, menyulap kawasan perbukitan menjadi jalur wisata baru lengkap dengan spot foto, jembatan bambu, dan warung kecil.
Namun, menurut salah satu narasumber berinisial (S) — yang meminta agar namanya tidak disebutkan — aktivitas tersebut banyak yang belum melalui proses izin resmi dari pemerintah daerah.
“Sekarang semua orang berlomba-lomba buka tempat wisata. Ada yang bikin jalur pendakian, ada yang buka curug baru. Tapi sebagian belum punya izin, bahkan ada yang motong pohon di hutan,”
ungkap (S) kepada tim jurnalis Rajawalinusantara.com. Sabtu (26/10/2025).
Dugaan Pelanggaran: Penebangan Pohon dan Pembabatan Hutan Lindung
Lebih jauh, dari hasil investigasi tim di lapangan, ditemukan indikasi bahwa beberapa pelaku usaha nekat membuka lahan wisata dengan cara membabat hutan lindung dan menebang pohon menggunakan gergaji mesin. Aktivitas itu jelas melanggar aturan yang telah diatur dalam Instruksi Gubernur Jawa Barat yang menyebutkan larangan menebang pohon di kawasan hutan lindung, khususnya yang berada di bawah pengawasan Perhutani.
Namun, perintah tersebut tampaknya tidak diindahkan. Beberapa warga bahkan menyebut, aktivitas tersebut seolah-olah “dibiarkan” tanpa ada tindakan tegas dari aparat terkait. Aparatur Perhutani yang seharusnya menjaga kawasan hutan pun diduga menutup mata atas kegiatan ilegal tersebut.
“Sudah jelas instruksi gubernur melarang menebang pohon dari kawasan Perhutani. Tapi di lapangan masih banyak yang jalan terus. Seolah-olah tidak ada pengawasan,”
kata sumber lain yang juga enggan disebutkan namanya.
Dampak Lingkungan yang Mengintai
Penebangan pohon di kawasan hutan dan pembukaan jalur wisata tanpa izin tentu membawa dampak serius terhadap lingkungan sekitar.
Selain mengganggu ekosistem alami, aktivitas tersebut meningkatkan risiko bencana longsor dan erosi tanah, apalagi wilayah Sukamakmur dikenal memiliki kontur tanah yang labil dengan tingkat kemiringan tinggi.
Warga sekitar pun mulai merasa khawatir. Beberapa kali terjadi longsor kecil di sekitar jalur wisata baru setelah hujan deras. Walau belum menimbulkan korban, hal ini menjadi peringatan dini tentang pentingnya tata kelola wisata yang berkelanjutan.
“Sekarang tiap hujan agak deras, tanah di sekitar jalur wisata mulai geser. Kalau dibiarkan, bisa bahaya,”
ujar salah satu warga Kampung Cisarua yang tinggal tidak jauh dari area wisata baru.
Minimnya Pengawasan dari Pihak Berwenang
Fenomena ini juga menunjukkan lemahnya pengawasan dan koordinasi antar-instansi, terutama di tingkat daerah.
Dinas terkait seperti Dinas Pariwisata, Perhutani, dan Satpol PP Kabupaten Bogor, dinilai belum bergerak cepat menindak pelaku usaha wisata ilegal maupun aktivitas perusakan lingkungan.
Padahal, berdasarkan peraturan daerah, setiap kegiatan wisata alam wajib mengantongi Izin Usaha Pariwisata (TDUP) serta memiliki kajian Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi lokasi yang berada di kawasan rawan bencana.
Namun, menurut informasi di lapangan, banyak pengelola wisata yang mengabaikan prosedur tersebut, dengan alasan “hanya membuka wisata kecil-kecilan” atau “belum sempat mengurus izin.”
“Harusnya sebelum buka, mereka ajukan dulu perizinan. Tapi banyak yang berpikir asal ramai, langsung jalan. Padahal dampaknya bisa panjang,”
kata salah satu pemerhati lingkungan Sukamakmur.
Potensi Ekonomi Tak Sejalan dengan Tata Kelola
Tak bisa dipungkiri, geliat wisata di Sukamakmur memang membawa dampak ekonomi positif bagi warga sekitar. Banyak masyarakat yang kini memiliki lapangan pekerjaan baru, mulai dari menjadi pemandu wisata, membuka warung, hingga menyediakan jasa parkir dan penginapan.
Namun, menurut sejumlah aktivis lingkungan, keberhasilan ekonomi ini tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan aspek legalitas dan kelestarian alam.
“Wisata harus membawa manfaat tanpa merusak. Kalau semua berlomba buka wisata tapi tak peduli izin dan lingkungan, lama-lama alamnya habis dan bencana datang,”
tegas salah satu pegiat lingkungan muda di Bogor Timur.
Instruksi Gubernur dan Seruan Penegakan Hukum
Instruksi Gubernur Jawa Barat sebenarnya telah mengatur secara jelas tentang perlindungan kawasan hutan dan lahan konservasi, termasuk larangan menebang pohon tanpa izin di area Perhutani.
Namun lemahnya pengawasan membuat instruksi tersebut tidak berjalan maksimal di lapangan.
Dalam konteks ini, masyarakat berharap agar pemerintah daerah dan instansi terkait tidak hanya diam, melainkan melakukan penertiban menyeluruh terhadap wisata ilegal di wilayah Sukamakmur dan sekitarnya.
Tindakan preventif dianggap lebih penting sebelum bencana terjadi dan menelan korban.

Harapan Masyarakat dan Ajakan Kolaborasi
Meski demikian, sejumlah warga berharap permasalahan ini tidak hanya berujung pada penutupan wisata, melainkan pembinaan dan legalisasi bagi para pelaku usaha kecil.
Banyak dari mereka yang membuka wisata karena dorongan ekonomi, bukan niat merusak alam.
“Kalau bisa jangan langsung ditutup, tapi dibina. Diajari cara urus izin, bagaimana menjaga lingkungan, supaya tetap bisa jalan tapi resmi,”
ujar warga lainnya.
Warga juga meminta agar aparat pemerintah hadir lebih aktif di lapangan — bukan hanya ketika masalah sudah terjadi, tapi sejak awal pembukaan area wisata.
Dengan demikian, keindahan alam Sukamakmur bisa tetap dinikmati tanpa mengorbankan hutan dan keselamatan masyarakat.
Antara Keindahan dan Ancaman
Fenomena wisata alam tanpa izin di Sukamakmur menjadi cerminan paradoks pembangunan daerah:
di satu sisi mendorong ekonomi lokal, di sisi lain membuka potensi pelanggaran hukum dan bencana ekologis.
Tanpa pengawasan dan penegakan aturan yang tegas, kekayaan alam Bogor bisa berubah menjadi sumber petaka.
Kini bola panas berada di tangan pemerintah daerah dan aparat penegak hukum.
Masyarakat menanti langkah nyata untuk menata ulang sektor wisata alam agar berjalan sesuai aturan dan tetap ramah lingkungan.
Karena sebagaimana kata warga Sukamakmur,
“Alam ini bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk anak cucu kita nanti.”
(red)