• Jum. Nov 7th, 2025

Sumpah Pemuda Adalah Janji untuk Tidak Diam di Tengah Perubahan

ByMANTA

Okt 28, 2025

Oleh Redaksi Rajawalinusantara.com

Bogor Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda sebagai bentuk penghormatan terhadap ikrar yang menyatukan bangsa. Namun bagi Manta tokoh masyarakat dan pemerhati sosial, peringatan itu tidak sekadar seremonial.

“Sumpah Pemuda bukan hanya tentang mengenang sejarah, tapi tentang menghidupkan kembali semangat untuk tidak diam di tengah perubahan,”
ujar MANTA saat ditemui di Bogor, Senin (28/10/2025).

Di tengah dunia yang bergerak cepat, kata Endang, pemuda tidak boleh sekadar bangga menjadi “anak muda”, tapi harus mampu mewujudkan perubahan nyata dalam masyarakat — sekecil apa pun langkahnya.


Sumpah yang Menyatukan, Semangat yang Menyegarkan

Sejarah mencatat, Sumpah Pemuda 1928 adalah hasil keberanian anak-anak muda lintas suku dan agama yang menolak perpecahan. Mereka berani berkata “satu” di tengah zaman yang masih dikuasai oleh perbedaan dan penjajahan.
Kini, hampir satu abad kemudian, semangat itu kembali diuji — bukan oleh penjajahan fisik, melainkan oleh fragmentasi sosial dan polarisasi digital.

Manta menegaskan, makna Sumpah Pemuda hari ini harus dikaitkan dengan tantangan era informasi.

“Kalau dulu ancaman datang dari luar negeri, sekarang datang dari dalam genggaman kita — dari layar ponsel, dari informasi palsu, dari kebencian yang tersebar di media sosial,”
ungkapnya.

Bagi Manta, pemuda sejati bukan yang paling banyak bicara, tapi yang paling banyak berbuat. “Kesatuan itu sekarang tidak cukup dengan kata-kata. Kita perlu bukti nyata,” tambahnya.


Digitalisasi dan Nasionalisme Baru

Transformasi digital membawa peluang sekaligus ujian bagi generasi muda Indonesia.
Kini, anak muda dapat menciptakan inovasi, memperjuangkan ide, hingga membangun gerakan sosial hanya dengan modal internet. Namun di sisi lain, dunia digital juga membuka ruang bagi disinformasi, ujaran kebencian, dan perpecahan identitas.

Menurut Manta, tantangan terbesar pemuda saat ini bukan kekurangan sumber daya, tapi menyalahgunakan potensi digital untuk hal yang tidak produktif.

“Kita sering melihat banyak anak muda yang viral tapi tidak berdampak. Padahal yang kita butuhkan bukan sekadar viral, tapi bermanfaat,”
katanya.

Manta menilai, nasionalisme digital adalah bentuk baru semangat Sumpah Pemuda.
Nasionalisme yang tidak diukur dari seberapa keras seseorang berteriak “NKRI harga mati”, tapi dari seberapa banyak karya dan solusi yang ia hasilkan untuk bangsanya.

Pemuda Harus Berani Menjawab Tantangan

Dalam pandangan Manta, setiap generasi muda selalu memiliki “musuh zamannya” masing-masing.
Generasi 1928 melawan penjajahan fisik, generasi 1945 melawan penindasan dan kebodohan, sementara generasi 2025 kini menghadapi penjajahan digital dan ekonomi global.

“Kita tidak lagi berperang dengan peluru, tapi dengan pikiran, data, dan inovasi,”
jelasnya.

Manta mengajak pemuda Indonesia untuk tidak takut gagal. Baginya, gagal adalah bagian dari proses belajar.
“Kalau pemuda tidak berani gagal, berarti dia tidak sedang belajar. Sumpah Pemuda itu tentang keberanian, bukan tentang kenyamanan,” tambahnya lagi.

Kolaborasi Lintas Generasi dan Komunitas

Salah satu hal yang sering dilupakan adalah bahwa perjuangan pemuda tidak bisa berdiri sendiri.
Kolaborasi lintas generasi menjadi kunci keberhasilan pembangunan bangsa. Manta melihat banyak contoh baik di lapangan, di mana pemuda menggandeng tokoh masyarakat, pelaku usaha, hingga lembaga pemerintah untuk menciptakan program bersama.

Di beberapa daerah, misalnya, muncul gerakan pemuda desa digital, komunitas wirausaha hijau, hingga program pemuda peduli lingkungan yang diinisiasi secara mandiri.
Semangat gotong royong itu, kata manta, adalah bentuk nyata dari Sumpah Pemuda versi modern.

“Kita sering bicara tentang kolaborasi, tapi lupa bahwa gotong royong adalah DNA bangsa kita.
Pemuda harus menjadi jembatan, bukan tembok,”
ujarnya.

Pendidikan sebagai Akar Perubahan

Tidak ada kemajuan tanpa pendidikan.
Manta yang juga aktif dalam gerakan sosial dan pendidikan menilai bahwa salah satu cara paling efektif menanamkan nilai Sumpah Pemuda adalah melalui sistem pendidikan yang humanis dan berbasis karakter.

“Kita butuh sekolah yang tidak hanya mengajarkan rumus, tapi juga rasa.
Anak-anak muda perlu tahu mengapa mereka belajar, bukan hanya untuk nilai, tapi untuk kehidupan,”
katanya.

Ia mengapresiasi banyaknya gerakan literasi dan pelatihan digital di kalangan pemuda, namun menekankan agar semangat itu tidak berhenti di level proyek.
“Pendidikan itu bukan event tahunan. Ia harus jadi kebiasaan harian,” ujarnya.


Sumpah Pemuda di Dunia Kerja dan Ekonomi

Selain pendidikan, dunia kerja dan ekonomi kreatif juga menjadi wadah nyata pembuktian semangat pemuda.
Saat ini, data BPS menunjukkan lebih dari 55% pelaku UMKM baru di Indonesia berasal dari generasi muda berusia di bawah 35 tahun.
Mereka tidak hanya menciptakan lapangan kerja, tapi juga memperkuat ekonomi daerah.

Manta menilai hal ini sebagai bukti bahwa pemuda bukan sekadar objek pembangunan, tapi subjek perubahan.

“Saya percaya masa depan Indonesia tidak ditentukan oleh berapa banyak pemuda mencari kerja, tapi oleh berapa banyak pemuda menciptakan kerja,”
tegasnya.

Ia menambahkan, keberanian berwirausaha dan inovasi adalah wujud nyata dari semangat Sumpah Pemuda yang sejati — semangat kemandirian.

Persatuan dalam Perbedaan

Bagi bangsa yang majemuk seperti Indonesia, menjaga persatuan di tengah perbedaan adalah ujian abadi.
Sumpah Pemuda telah membuktikan bahwa perbedaan bukan penghalang untuk bersatu.
Namun di era modern, perbedaan sering kali justru dijadikan bahan pertentangan, terutama di ruang digital.

Manta menekankan pentingnya etika dialog dan empati sosial.

“Berbeda pendapat itu wajar, tapi saling menghina itu tanda kemunduran.
Pemuda yang cerdas adalah yang bisa berdiskusi tanpa mencaci,”
jelasnya.

Ia mengingatkan bahwa nilai utama dalam Sumpah Pemuda bukan sekadar “satu bangsa”, tapi satu rasa memiliki Indonesia.

Media dan Peran Informasi Positif

Media massa, termasuk media digital seperti Rajawalinusantara.com, memiliki peran strategis dalam membangun kesadaran nasionalisme di kalangan muda.
Menurut Manta, media harus menjadi wadah edukasi publik, bukan sekadar hiburan instan.

“Media punya tanggung jawab moral untuk menyiarkan inspirasi, bukan hanya sensasi.
Karena dari situlah karakter bangsa dibentuk,”
tegasnya.

Manta juga berharap media daerah turut mengangkat kisah pemuda lokal yang berprestasi agar menjadi inspirasi bagi banyak orang.
“Setiap daerah punya pemuda hebat. Tugas media adalah menyalakan cahaya mereka,” katanya.

Pesan untuk Generasi 2025

Menjelang puncak peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-97 tahun 2025, Manta menyampaikan pesan khusus bagi generasi muda Indonesia:

“Jangan tunggu tua untuk berbuat baik, jangan tunggu sukses untuk berbagi.
Karena bangsa ini tumbuh dari orang-orang yang berani mulai lebih dulu.”

Ia juga mengajak seluruh elemen bangsa — pemerintah, dunia pendidikan, pengusaha, dan masyarakat — untuk memberikan ruang tumbuh yang lebih luas bagi pemuda.
“Kalau kita percaya pada pemuda, Indonesia akan selalu punya harapan,” tambahnya.

Refleksi Akhir – Dari Janji ke Tanggung Jawab

Sumpah Pemuda 2025 bukan sekadar mengenang tiga kalimat ikonik yang diucapkan para pemuda pada 1928.
Ia adalah janji moral lintas zaman — bahwa bangsa ini akan selalu tumbuh bersama generasinya.

Tugas generasi muda kini bukan lagi memegang senjata, tapi memegang tanggung jawab: menjaga moral, menyebar kebaikan, dan membangun bangsa dengan karya nyata.

“Jangan pernah berhenti menjadi pemuda, walau usia terus bertambah.
Karena bangsa ini selalu butuh energi, idealisme, dan keberanian untuk terus berubah.”

By MANTA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *